Rohingya Belia Penghafal Quran

MuntadaQuran - Hadir di medan isu, di lapangan, sungguh berbeda. Lebih dari sekadar inspiratif. Ada pencerahan luar biasa yang diserap dengan hadir di tengah pencari suaka dari Myanmar, di Aceh. Aku bersua mereka Rabu sore, 27 Mei 2015, menjelang maghrib. Aku satu dari lima rombongan terbaru, sejak ACT terlibat dalam penanganan Muslim Rohingya yang kini berada di Aceh. Rombongan kami sampai di Posko Pengungsian warga Rohingya yang berada di Lhoksukon, Aceh Utara setelah menempuh dua jam perjalanan udara dan delapan jam perjalanan darat.

Dinyatakan bahwa jumlah pengungsi etnis Rohingya dan Bangladesh yang kini berada disitu ada ratusan orang. Sore itu suasana ramai pengunjung. Lapangan terbuka di tepi pantai Kuala Cangkoy, mulai menunjukkan pergerakan para pencari suaka itu untuk bersiap menyambut adzan Maghrib. Warga setempat masih terus mengirimkan bantuan atau sekadar beramah-tamah dengan para pengungsi. Meski agak sulit berinteraksi (karena perbedaan bahasa), saya merasakan kedekatan antara warga sekitar Kuala Cangkoy dengan para pengungsi. Benar-benar dekat tanpa sekat. 

Usai shalat Maghrib berjama'ah di Mushalla ACT, tim ACT mencoba menyelami sosok-sosok pencari suaka itu. Lewat Hussain, Muslim Rohingya yang mampu berbahasa Melayu dan sedikit Bahasa Inggris, kami bisa mengenal sedikit demi sedikit siapa mereka. Hati bergetar hebat. Wajah-wajah nelangsa, jasad-jasad kurus, anak-anak bermata sayu itu, ternyata anak-anak yang memiliki keluarbiasaan. 

Lewat Hussain, aku jadi tahu, banyak di antara anak-anak belia Rohingya yang ada di pengungsian ini, penghafal al-Quran. Salah satunya, Subiah, gadis baru berusia 7 tahun. Ia tak sendiri - sebagai hafidzah (penghafal Quran). Ada sepasang kakak-beradik yang juga hafal Quran. Benar jasad mereka ringkih, dan dalam usia sebelia itu, bersama berpuluh anak yang baru belasan tahun, harus mengarungi ganasnya samudera dan kejamnya perahu. Banyak yang sendiri atau bersama saudaranya yang juga kanak-kanak atau remaja, tanpa orangtua atau sanak saudara. 

Ya, "anak-anak surgawi" ini terpaksa terpisah dari orangtuanya. Ada yang memang sudah tak punya orangtua, ibu atau ayah, bahkan ayah-ibunya tewas mengenaskan akibat kekerasan di tanah kelahirannya, Myanmar. Yang di Kuala Cangkoy ini sebagian terpisah kapal dengan orangtuanya. Mereka dengar, sang ayah ada di kapal yang mendarat di Malaysia, sementara mereka terdampar atau diselamatkan nelayan dan kini berada di Aceh. 

Luar biasa, kenyataan sepahit ini harus ditanggung anak-anak belasan tahun seperti mereka. Saat kami temui, mereka mulai bisa menenangkan diri. Kondisi mereka dalam keadaan baik. Fisik mereka terlihat sehat, bahkan mereka mampu 'melayani' kami dengan senyuman hangat. Alunan al Qur’an yang kian sering dibacakan di pengungsian, berkat sumbangan kitab Al Quran dari banyak pihak, menepis sepi dan galau. Mereka tenang karena keyakinan pertolongan Allah. 

Aku malu, dalam kondisi tertekan, banyak penghafal Quran usia belia di tengah Muslim Rohingya, sementara aku yang hidup di negeri aman-damai seperti Indonesia, belum banyak ayat dan surat yang ku hafal. Sampai kami berpisah, masih lekat senyuman mereka, memancarkan rasa syukur bersua orang-orang baik. Senyum mereka seakan mengajariku yang sudah puluhan tahun dalam kondisi aman-aman saja, untuk lebih tawakal menjalani hidup dan lebih banyak bersyukur dengan amal saleh. Cobaanku, tak ada secuil pun dibanding derita mereka, anak-anak belia Rohingya. Dan mereka, masih bisa menghafal al Quran. (act/th/mq)

Oleh: Ahmad Faisal Ramadhan
           Integrated Digital Communication Officer